Pada suatu siang yang terik,
Sunan Kalijaga berjalan melewati pepohonan siwalan (Enau, Nira, Kawung). Di atas pohon tersebut ada seorang lelaki tua bernama Cokrojoyo dari Desa Gesing sedang men-deres buah siwalan (Mengambil sari siwalan untuk dibuat gula nila ; Nyadap Kawung). Sambil melepas lelah di bawah pohon itu, Sunan Kalijaga mendengar Cokrojoyo menyanyikan sebuah tembang ;
“Lilo-lilo … lilo-lilo … lilo-lilo
Berulang kali tembang itu dinyanyikannya. Sang Sunan menikmatinya dengan seksama dan penuh pesona. Hingga si pen-deres turun dari pohon siwalan.
“Lilo-lilo … gerangan tembang apakah itu, Kek?”.
“Alah, kisanak, tiap hari aku bekerja seperti ini, sebagai buruh pen-deres siwalan. Agar hidup yang susah ini tidak terasa susahnya, ya tak lilo-lilo (Ya disabar-sabarkan, menyabarkan diri)”.
“Bisakah diganti dengan yang lebih baik, Kek?”.
“Diganti yang bagaimana, Kisanak ?”.
“Laa ilaaha illallooh”.
Sejak itu, Cokrojoyo menjadi murid Sang Sunan dengan gelar Sunan Geseng,- (***).
(Konon menurut ceritanya ; Setelah perjumpaan yang singkat itu, keduanya berpisah. Sekian waktu kemudian, Cokrojoyo bertekad untuk berguru kepada Sang Sunan. Suatu saat mereka bertemu. Sunan Kalijaga lalu menancapkan sebatang bambu di depan Cokrojoyo dan sebelum meninggalkannya, ia memintanya untuk menjaga batang bambu tersebut hingga kembali. Cokrojoyo pun mematuhi perintah gurunya itu dan menungunya hingga batang bambu tersebut menjadi “barongan” (Rerimbun pohon bambu). Sekian lama kemudian, kembalilah Sunan Kalijaga dan mendapati Cokrojoyo masih setia di tempat itu. Lalu, Sang Sunan membakar barongan itu hingga lantak. Tubuh Cokrojoyo hangus seperti arang, namun tidak terbakar. Sejak itu, Cokrojoyo berjuluk Sunan Geseng. Hingga kini, makam Sunan Geseng masih berkabut misteri ; ada yang di Pakah Gesing Tuban, ada yang di Tirto Magelang, juga di Grabak Magelang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar