Dyah Balitung sang pembangun candi Prambanan pada seribu tahun yang silam atau tepatnya pada tahun 900 masehi memindahkan ibukota kerajaan Mataram ke Timur, sekitar Madiun. Waktu itu Mataram yang menguasai wilayah Kedu, Bagelen, dan Yogyakarta (wilayah tersebut mengepung gunung Merapi dari Utara, Barat, Selatan, dan Timur). Wilayah Timur dan Selatan Gunung Merapi hanya sampai tahun 850 masih dikuasai Syailendra, Buddha, hingga akhirnya jatuh ke dalam daerah wilayah Mataram, Hindu).
Gunung Merapi yang aktif merupakan sarana bagi para dewa untuk turun ke bumi manusia. Sebuah kerajaan manusia yang bernama Mataram akan semakin diberkati para dewa jika ibukota kerajaan dekat dengan sebuah gunung berapi yang selalu aktif mengeluarkan sesuatu dengan semburannya yang membikin subur suatu wilayah.
Wilayah Mataram yang masih dipenuhi hutan belantara lebat itu dalam sekejab musnah terbakar oleh beberapa minggu semburan awan panas Gunung Merapi. Angka tahun menunjukkan 900. Kerajaan mengalami kerugian besar karena bukan hanya wilayah yang terbakar, juga korban di kalangan penduduk cukup besar. Dyah Balitung memutuskan mengosongkan wilayah Mataram yang masih tertutup debu vulkanik untuk sementara waktu, ribuan rakyat bergerak ke timur dengan membawa perbekalan masing-masing termasuk ternak milik mereka.
Dataran luas dan subur berada di antara gunung Lawu dan gunung Wilis, itulah daerah Madiun, dan ke sana rakyat Mataram memutuskan sebagai tujuan akhir perjalanan mereka membangun ibukota baru kerajaan Mataram. Selama hampir tigapuluh tahun mereka membuka daerah baru bahkan hingga mendaki gunung Wilis dan tiba di suatu daerah baru yang lebih subur lagi, wilayah Kediri. Raja Dyah Balitung sudah digantikan oleh tiga raja baru yakni Daksa, Tulodong, dan Wawa.
Sampai hari ini penduduk di wilayah Madiun hingga Kediri menyebutkan leluhur mereka berasal dari Mataram Hindu. Waktu itu penyebaran rakyat Mataram sekitar 927 sudah mencapai lebih jauh lagi dari sisi gunung Wilis sebelah timur yakni mencapai sebuah bukit yang terpisah dari gunung Wilis dan mereka sebut bukit Klothok, kolo thok, penuh dengan kolo, ada kolomonggo, kolojengking, dan lain-lainnya. Tidak jauh dari bukit tersebut terdapat aliran sungai Brantas yang waktu itu merupakan sarana lalulintas air di masa itu.
Raja Empu Sindok yang berniat membangun angkatan laut yang kuat guna menandingi kerajaan Syailendra yang kini berada di pulau Sumatra. Dan sebagai persiapan bagi pertahanan diri dari serangan mereka maka sang raja Mataram tersebut memutuskan memindahkan ibukota lebih ke Timur lagi dari Madiun yakni ke wilayah Kediri.
Satu hal lagi yang membuat rakyat Mataram dan sang raja merasa beruntung mendapatkan ibukota baru di Kediri ialah sebuah gunung yang sangat aktif dan mereka namai gunung Kelud, artinya sapu bersih. Gunung Kelud yang aktif merupakan sarana bagi para dewa yang turun ke bumi manusia. Dengan ibukota yang berada dalam jarak dekat dengan tempat para dewa turun ke bumi manusia maka mereka akan mendapatkan berkat dewa yang lebih besar lagi sehingga tidak kalah dengan berkat yang mereka terima sewaktu masih tinggal di wilayah sekitar gunung Merapi.
Letusan gunung Kelud berbeda dengan Merapi yang memuntahkan awan panas hampir beberapa ratus derajat Celcius, yang akan terjadi pada gunung Kelud tatkala meletus ialah memuntahkan lahar panas dan atau lahar dingin yang dapat menyapu wilayah-wilayah terdekat yang dilaluinya. Dan selanjutnya wilayah tersebut akan menjadi wilayah yang sangat subur sebagai berkat dari para dewa.
Selanjutnya pemerintahan Mataram tetap bertahan hingga hampir seabad sampai pada maraknya Darmawangsa yang sudah memiliki pasukan laut yang kuat dan menyerang Sriwijaya pada 990. Serangan tersebut tidak membuat Sriwijaya takluk malah berbalik ganti menyerang Kahuripan tujuhbelas tahun kemudian yang berakhir dengan mangkatnya Darmawangsa pada 1007. Pada 1006 sekali lagi terjadi letusan dahsyat Merapi dan bersamaan itu muncul seorang satria-dewa Erlangga atau Airlangga yang setahun berikutnya jadi menantu raja Kahurupan. Dengan terjadinya serangan Sriwijaya terhadap kerajaan Kahuripan -- yang kelak dipimpin oleh Satria-dewa tersebut -- maka Erlangga untuk sementara waktu menyingkir dan mengumpulkan tenaga baru di daerah Wonogiri. Dan untuk sementara pula setelah pasukan Sriwijaya menyingkir maka tampuk kekuasaan atas kerajaan diserahkan kepada patih Narotama.
Erlangga yang mengambil pelajaran dari serangan Sriwijaya di hari pernikahannya, pesta kerajaan tengah berlangsung kini mulai merencanakan untuk membangun infrastruktur lalulintas air yang menyusuri sungai Brantas mulai Kediri hingga pelabuhan di Surabaya. Beliau juga sempat membangun semacam terusan di daerah Porong untuk memperlancar lalulintas sekaligus mengatasi banjir di wilayah tersebut. Dan terciptalah wilayah pertanian yang subur di sisi sungai Brantas.
Wilayah Porong Sidoarjo yang kini sedang dilanda bencana berupa semburan lumpur Lapindo di masa silam ada ribuan tenaga kerja rakyat yang dikerahkan secara sukarela maupun tidak sukarela oleh Erlangga untuk proyek raksasa tersebut. Walhasil kini sebuah perusahaan swasta yang mengadu untung dengan melakukan pengeboran untuk mendapatkan gas bumi/minyak malah kualat dan melahirkan bencana baru yang sangat merugikan rakyat di wilayah tersebut sehingga keadaan alam wilayah tersebut kembali seperti keadaan semula persis sama seperti di jaman Erlangga -- seribu tahun yang silam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar