Multi Supranatural Of Java

Estineng Cipto Marganing Mulyo

Selasa, 24 Mei 2011

Mencari Jejak Tuyul

Sebelumnya saya mengira tuyul hanyalah dongeng seperti halnya Peter Pan dari negeri seberang. Alasannya sederhana, saya belum pernah melihat tuyul dan keberadaannya sama tak masuk akal seperti halnya Peter Pan yang bisa terbang dan tak pernah dewasa. Selain itu, banyaknya versi di televisi tentang tuyul, ada yang baik ada yang jahat, ada yang mencuri, ada yang hanya ingin bersenang-senang dengan anak sebayanya, dan sebagainya, membuat keberadaan tuyul sebagai makhluk nyata makin tak berarti dalam logika saya. Mana ada anak kecil (yang bahkan masih perlu menyusui pada induk semangnya/tuannya atau istri tuannya) bisa mencuri uang dengan amat sangat lihai tanpa diketahui si pemilik? Mana ada anak kecil tega menghabisi nyawa induknya padahal dia masih butuh menyusui? Menurut logika saya saat itu, tuyul mirip Peter Pan. Bedanya, Peter Pan terarsipkan dengan baik sehingga kita dapat melacak siapa penulis asli dongeng itu sedangkan sebagai bangsa yang tak terlalu peduli dengan catatan, kita melupakan siapa penulis dongeng tuyul versi pertama. Ini bukan hal yang mengherankan bagi saya. Buktinya dewasa ini di mana berita dapat menyebar antar benua dalam hitungan sepersekian detik, kita telah kecolongan batik sebagai budaya nenek moyang kita dan nyaris kehilangan reog Ponorogo sebagai warisan budaya Jawa Timuran.


Logiskah Keberadaan Tuyul di Abad Ultramodern?
Keberadaan tuyul mulai memaksa logika saya tak berfungsi sejak sebulan yang lalu. Dimulai saat saya kehilangan uang seratus ribu (dua lembar lima puluh ribuan) dari dompet di dalam rumah sendiri. Mulanya saya pikir saya telah salah menghitung. Keesokan harinya ketika jumlah yang sama hilang lagi, saya mulai curiga pada putra saya. Biasanya dia tidak pernah mengambil uang sendiri dari dalam dompet saya. Kalau terpaksa -misalnya saya sedang tidur sedangkan dia harus segera pergi- maka dia akan memberitahukan hal itu. Kehilangan uang dua hari berturut-turut dalam jumlah yang sama meski tidak terlalu besar, membuat saya lebih berhati-hati. Saya menanyakan pada anak saya tanpa bermaksud menuduhnya, tentang uang yang hilang. Tapi alasannya masuk akal.

Kebiasaan saya adalah memisahkan uang setiap sejuta rupiah. Ini saya lakukan sebelum berangkat tidur. Lalu menyimpannya dalam dompet dan kemudian dalam tas tangan di dalam kamar tidur. Uang dalam jumlah besar yang sewaktu-waktu akan dipergunakan saya masukkan dalam dompet lebih besar dan dompet itu dimasukkan dalam koper kecil di sudut kamar dan tak lupa menguncinya.

Hari ketiga, kejadian yang sama terulang. Uang sejuta hanya tinggal sembilan ratus ribu. Sayangnya saya lupa menghitung sebelum berangkat kerja sehingga bisa jadi uang tersebut jatuh saat saya membayar pembelian bensin. Meski membayar dari uang yang selain sejuta rupiah tersebut, tapi mana tahu ada yang jatuh atau tertiup angin saat saya mengeluarkan dompet? Tidak ada alasan untuk mencurigai anak saya karena uang diletakkan dalam koper yang terkunci malam sebelumnya dan baru saya keluarkan setelah dia berangkat sekolah. Tapi menyalahkan diri sendiri karena telah salah menghitung jumlah uang malam sebelumnya, juga tak mungkin, karena sebelum memasukkan uang ke dalam dompet, saya tiga kali menghitung dan akhirnya hanya mengambil sejuta dan sisanya beberapa lembar lima puluh ribuan, sepuluh ribuan, dan ribuan tak saya hitung lagi.

Kejadian berhenti sampai di situ. Saya sudah menemukan kuncinya: jangan memisahkan uang persejutaan tapi per satu setengah juta. Karena setiap saya memisahkannya per sejutaan, pasti ada seratus ribu (sekali lagi: dua lembar lima puluhan) yang hilang di antara 4-5 juta uang yang ada. Dua minggu berlalu tanpa kejadian apa-apa. Saya sudah melupakan pernah kehilangan beberapa ratus ribu tanpa tahu siapa pencurinya, dan kembali ke kebiasaan lama: memisahkan uang setiap satu juta. Dan kejadian yang nyaris sama terulang: saya kehilangan uang dari dalam dompet yang disimpan di dalam koper terkunci. Tapi kali ini hanya selembar lima puluh ribuan.

Rasa penasaran yang besar membuat saya ingin menangkap pelakunya. Jam dua pagi sebelum tidur, saya hitung jumlah uang dan memisahkannya seperti biasa: setiap satu juta dijadikan satu. Lalu menyimpan lima juta rupiah di dalam dompet besar. Meletakkan dopet itu di dalam koper dan menguncinya. Kunci gembok kecil itu saya simpan di tempat yang agak jauh dari koper (bukan tempat biasa saya menyimpannya) tetapi masih di kamar yang sama. Tak mungkin ada pencuri yang tahu. Bangun tidur jam lima pagi, setelah sholat Subuh, yang pertama saya lakukan adalah mengecek jumlah uang dalam koper. Empat juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah. Reaksi pertama saya, “God damn it!’

Tapi saya belum kapok. Keesokan malamnya saya lakukan hal yang sama tetapi kali ini kunci gemboknya saya simpan dalam saku celana yang saya kenakan saat tidur. Dan sekali lagi uang saya berkurang lima puluh ribu rupiah. Dan sekali lagi uang itu hilang di depan hidung saya di dalam kamar saya sendiri meski disimpan dalam koper terkunci. Waktu saya keluhakan hal ini pada wanita yang membantu mencucikan pakaian kami, dia mengatakan hal paling tak terpikirkan oleh saya. Katanya itu pasti kerjaan tuyul. Karena beberapa kali mbak-mbak yang tinggal di sekitar rumah saya melihat ada dua orang anak kecil sedang bermain air sekitar jam empat dini hari. Saya hanya bisa berkomentar, ‘Masa’ sih, Mbak ada tuyul?’ Keyakinannya yang kuat akan makhluk yang invisible dan kekuatan gaib jahat yang menyertainya mau tak mau mempengaruhi akal sehat saya.

Dengan perasaan campur aduk saya telpon seorang teman tentang uang yang hilang dan keberadaan tuyul yang diyakini wanita tadi. Teman ini menyarankan saya berzikir dengan surah tertentu dengan jumlah tertentu. Memang kami jarang sholat di rumah, kecuali Subuh. Sholat Zuhur dan Ashar di tempat kerja atau sekolah masing-masing, sedangkan Maghrib dan Isya di mesjib depan rumah. Malam itu saya lakukan sholat Isya di rumah.

Hal lebih aneh saya dengar ketika menelpon ibu saya. Beliau meminta saya menyediakan perangkat tertentu dan meletakkannya di tempat tertentu. Tentu saja saya tak bersedia melakukan itu. Bagaimana kalau benar tuyul yang mencuri uang saya? Bagaimana kalau makhluk itu tertangkap mata saya? Iya kalau hanya berupa anak kecil normal yang ganteng. Kalau ternyata berupa makhluk menyeramkan dengan taring yang panjang atau cekikikan yang menyeramkan? Tanpa pikir panjang saya akan pindah rumah detik itu juga, atau paling tidak mengungsi ke tempat lain jika barang-barang belum sempat dipindahkan.

Sampai saat ini saya tak pernah menangkap keberadaan tuyul di sekitar rumah atau di mana pun. Jadi tak ada alasan untuk menyediakan bermacam alat yang disarankan ibu atau teman-teman. Apalagi kemudian saya mengubah cara menyimpan uang, tak pernah lagi ada kejadian uang hilang sejak dua minggu lalu.

Kesimpulan: Tuyul Hanyalah Dongeng Anak-Anak

Entah karena kebodohan saya, saya tetap menganggap makhluk itu sebuah dongeng untuk memperingatkan anak kecil agar hati-hati menyimpan uang dan tidak bermain dengan sembarang teman. Tapi kehilangan uang tanpa tahu pencurinya menjadikan saya agak paranoid. Uang yang biasanya saya simpan di koper, segera saya pindahkan ke bank padahal tentu saja tak efisien. Uang sisanya yang kurang dari sejuta, saya simpan dalam kantong plastik dan selalu saya bawa ke mana pun saya pergi. Bahkan tidur sekali pun. Biasanya saya masukkan dalam saku celana panjang. Kalau tidur, saya simpan uang di dalam celana dalam yang saya kenakan. Putra saya tertawa setiap kali melihat saya sibuk dengan plastik uang itu. Apalagi jika uang dalam plastik itu kemudian seringkali tertinggal di kamar mandi. Tanpa kehadiran tuyul pun, saya akan kehilangan uang lebih besar karena jadi sembarangan meletakkan uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar