Multi Supranatural Of Java

Estineng Cipto Marganing Mulyo

Selasa, 13 September 2016

Asal Usul Desa Elaar



Sebuah Desa Yang Menyimpan Sejarah Pembentukan Hukum Adat Larvul Ngabal

Elaar adalah sebuah desa di pesisir timur Pulau Kei Kecil yang nenek moyangnya diasal usulkan (utin kain) dari pulau Seram, Luang Sermata, dan Luang Maubes. Desa ini bernama Desa Ohoilim yang terdiri dari lima marga bsar, yakni Marga Oat, Renngifur, Renoat, Fodubun, dan Labet-Umad. Kelima marga ini berasal dari Tiga marga besar (loo I tel atau tiga mata rumah) yaitu mata rumah penduduk asli yaitu mata rumah yang berasal dari keturunan Ngurkud oat, yang menurunkan Marga Oat dan Renngifur, mata rumah pendatang dari Luang yakni Turunan Faliw dari Luang Sermata yang menurunkan Marga Renoat, Wuaha Sobyar dari Maubes yang menurunkan Marga Fodubun, dan mata rumah pendatang dari Seram Gorom yakni Yamlim serta seorang adik lelaki yang menurunkan Labet dan Umad. Kedua marga inilah yang akhirnya menurunkan turunan terbesar di Desa Elaar yang bermarga Labetubun dan Madubun.

Penguasa daerah ini disebut Jingraw I adalah Ngurkud Oat dengan Womanya adalah Kot El, Lodar El (gerbang pemerintahan dan pusat perkawinan). Ketika Yamlim dan adiknya pertama dating, mereka menggunakan sebuah kulit siput besar dengan perbekalannya adalah sagu. Sampai di tepi pantai mereka melihat ada sungai kecil yang mengalir ke laut, maka mereka masuk dengan menyusuri sungai tersebut sampai kehulunya. Di hulu sungai inilah mereka berdiam di sebuah goa kecil dan menanam beberapa anakan pohon sagu untuk menjaga sumber air di sekitar hulu sungai. Sungai tersebut diberi nama sungai Yamlim dan Goa kecil tersebut sebagai Goa Yamlim, dipenuhi dengan tanaman sagu sebagai makanan pokok kedua setelah enbal dan umbi-umbian lainnya.

Ketika orang kampong pergi berburu, mereka ditemukan karena lolongan anjing pemburu. Mereka kemudian dibawah menghadap penguasa saat itu yakni Jingraw I yang dijabat oleh Ngurkud Oat. Penduduk akhirnya melapor kepada Jangraw I yakni Ngurkud Oat tentang keadaan dari kedua lelaki tersebut. Mereka kemudian ditanya asal usul mereka dan maksud kedatangan mereka. Melalui beberapa tes yang dilakukan oleh Ngurkud Oat dan sebuah sumpahan bahwa jika benr kamu orang baik-baik, maka keturunanmu akan seperti bunga mangga ( yang saat itu lagi berbunga) dan jika tidak keturunanmu akan punah bagaikan kembang mangga di musin hujan. Akhirnya Yamlim diterima oleh Ngurkud Oat dalam suatu pengawasan yang ketat.mereka sering diajak berburu bersama oleh penduduk kampung, ternyata Yamlim dan adiknya sangat pandai dalam hal memnah dan menggunakan pedang/parang.


Penduduk asli sangat kagum atas kelihaian dan kegesitan kakak beradik karena setiap buruan tidak terlepas dari panah sang kakak atau sabetan pedang sang adik. Sebelum perburuan dimulai kedua kakak beradik menyusun strategi yang akan dilancarkan pada waktu terlihat hewan buruan, pada saat mengaso, mereka tak segan-segan membagi pengalaman dengan teman-teman pemburu dengan strategi dan cara-cara menaklukkan hewan buruan, serta mengajarkan bagaimana cara memanah yang baik, dan menyabet dengan pedang secara tepat. Pengetahuan dan penhgalaman ini mereka dapat dari orang tua mereka di daerah asal mereka pulau Seram, yang hutannya lebih luas dan lebat dengan medan berburu yang lebih sulit karena gunung yang tinggi serta jurang yang sangat dalam. Setiap hasil perburuhan maupun hasil tangkapan ikan akan dibagikan kepada seluruh penduduk sesuai besar kecilnya jumlah anggota keluarganya.

Di depan tanjung di Desa Elaar, ada sebuah Goa bernama yang bernama Vid Nang yang berarti “pintu masuk” yang dihuni oleh seekor ular naga besar yang sering memangsa penduduk, bahkan tak kurang para penduduk kampung lain yang melintas daerah tetrsebut dengan perahu tak luput para penduduk kampung lain yang melintas daerah tersebut dengan perahu tak luput menjadi mangsanya. Daerah depan Vid Nang telah menjadi daerah berbahaya bagi pelayar baik dari Kei Kecil maupun dari Kei Besar yang sering melintas daerah ini. Para pelayar sering melihat Naga tersebut melemparkan bola api ke udara kemudian di tangkap kembali. Keadaan ini selalu membuat penduduk kampung ketakutan. Kedua kakak beradik ini merembuk untuk membuat strategi, mencari cara untuk membunuh Naga tersebut. Kemudian sekali lagi mereka menunjukan kemampuan mereka dengan membuat tali jerat. Tali jerat tersebut dipilih bersama-sama penduduk kampung, lalu Naga pun di umpan untuk keluar dari liangnya, pada saat itulah Naga terjerat dan akhirnya dibunuh oleh mereka beramai-ramai.

Dengan pengalaman yang ditularkan kepada penduduk, maka pemuda kampung ini sangat terkenal sebagai jawara-jawara dalam peperangan karena kepandaian, pengetahuan dan keberanian kedua pemuda tersebut akhirnya mereka di angkat menjadi pemuka/tokoh pemuda yang disegani oleh kawan maupun lawan dengan Gelar “Dir U Hamwang” yang artinya “pemuka dan pembagi”.
Penduduk akhirnya melapor kepada Jingraw I yakni Ngurkud Oat tentang keadaan dan sepak terjang mereka, oleh karena kedua kakak beradik ini selalu menunjukkan sifat-sifat yang arif dan bijaksana, serta pandai.

Kemudian Yamlim dan adiknya dipangging oleh Ngurkud Oat, pada saat mereka menghadap Ngurkud Oat, maka Yamlim sebagai kakak ia diberi kekuasaan oleh Ngurkud oat sambil mengucapkan: “Om do vo taha kuas ne ya’a taha formai” yang artinya “kamu tinggal disini memegang kekuasaan,dan saya mengatur masalah adat. Kemudian ia diberi salah satu dari putri Ngurkud adalah Masliwur sebagai istrinya. Setelah kekuasaan dan istri diberikan barulah diberi tanah sebagai tempat untuk membuka lahan. Tanah yang diberikan tidak terbatas, karena pada prinsipnya sejauh kmampuan dia untuk membuka hutan dengan menanam tanaman umur panjang seperti kelapa, sagu dan lainnya, maka sebesar itu pula haknya atas tanah tersebut.

Yamlim kemudian memegang jabatan sebagai seorang Hilaai dalam pemerintahan Jingraw II dalam daerah kekuasaan yang di sebut Vovan Medar Kabil. Kekuasaan Yamlim diperkuat oleh seorang ahli hukum yang bernama Fuut Rub dengan menerapkan suatu hukum Ohoi/Kampung yang disebut hukum “Lavul”. Hukum ini kemudian dijadikan induk hukum yang diberlakukan di tanah Kei, untuk mengenang leluhur mereka yang datang dari Seram, maka kemudian pada masa pemerintahan Belanda, Desa ini diberi nama Lamagorong oleh penguasa pada saat itu dari dari marga Labetubun yang moyangnya berasal dari Gorom untuk mengingat daerah asalnya, dengan Womanya adalah Woma “Ewanus” belangnya bernama “Belang Fadir”, pada waktu pemerintahan Jingraw II ini masyarakat Ohoilim termasuk orang-orang hartawan karena mereka banyak memiliki harta berupa emas dan perak dari hasil niaga dengan orang-orang di luar daerah Kei.

Mereka yang terkenal sebagai orang-orang hartawan Elaar di antaranya Mankerenluk dan anaknya Balkenwutun, dalam sejarah tanah Kei pernah menerima orang buangan dari Kei Besar, yang kemudian ditempatkan di daerah petuanan mereka yaitu di dusun Garara, dan dusun Ngurvul. Semula mereka berkampung di pantai Masleb namun karena ditolak oleh orang-orang Rahan Ohoilim, maka oleh seorang keturunan Balkenwutun yakni H. Abdul Halik Labetubun memindahkan mereka ke daerah petuanan Balkenwutun. Sampai sekarang kedua dusun tersebut menjadi anak desa Elaar. Hal ini dikarenakan adanya hubungan perkawinan antara adik perempuan Mankerenluk yakni Sikluban kawin dengan Raja Feer yakni Bol-Bol Rahakbaw, sedangkan cucunya Baturin anak dari Balkenwutun kawin dengan Kapitan Roroa dari dari Larat. Mereka dikenal sebagai “MEL UTIN” atau MEL UUN. Meraka memiliki harta pusaka berupa emas yang kini masih tersimpan dengan baik memiliki tanah-tanah yang luas dan budak belian yang banyak, pada waktu perang SONGIL FOMAS antara Kelompok Loor Lim dengan Ursiw yang mengakibatkan Raja Danar Terusir, dan terapung-apung di NGON TENBAW maka tampilah Hartawan Elaar yakni Mankerenluk yang membawa seguci emas,lalu menebus Raja Danar untuk kembali menduduki jabatannya semula. Pemuda-pemuda Elaar sejak dahulu terkenal sebagai pemanah-pemanah yang handal dan tangkas dalam berperang.

Kampung Ohoilim pernah mengalami peperangan yang dikenal dengan perang (FUUN SULTAN) menghadapi gempuran orang-orang Kei di sekitarnya yang ingin mengislamkan Ohoilim, karena mereka mengetahui bahwa Hukum orang Ohoilim sejalan dengan hukum dalam agama islam. Orang Elaar walau beragama animis tetapi mempraktekkan hukum dan ajaran sesuai dengan ajaran islam, karena sering digempur, maka oleh penguasa pada saat itu diperintahkan untuk bekerja bersama-sama membangun tembok/lutur di sepanjang Laer Tutu Mayor (Tanjung Tutu Mayor) setinggi lima meter untuk melindungi kampung dari serbuan dari arah laut.

Selain tembok pertahanan, penguasa Ohoilim juga membagi marga-marga atas beberapa kelompok untuk mempermudah penggalangan masa bila terjadi penyerangan. Kelompok-kelompok ini mempunyai belang sendiri-sendiri yang dikomandoi oleh salah seorang pemuka yang dianggap piawai untuk menjadi pemimpin bagi pemuda-pemuda pendayung belang saat pertempuran yang terjadi di laut. Selain itu masyarakat Elaar pernah mengalami penyerbuan atas kampung mereka oleh masyarakat BIBTETRATSIW yang dimenangkan oleh masyarakat Elaar dengan terbunuhnya Hilaai Kanew dalam peperangan tersebut.

Seiring dengan berjalanannya waktu akhirnya orang Ohoilim mulai masuk Islam dengan keyakinan sendiri, bukan karena perkawinan atau alasan lain. Bahkan ada diantara mereka yang masuk Islam tersebut pada awalnya mereka (laki dan perempuan telah dijodohkan oleh orang Tua) sejodoh tetapi merekatidak mau kawin dan masuk Islam. Pada saat mereka telah sama-sama memeluk agama Islam barulah mereka menikah.

Setelah beberapa rumah tangga yang memeluk agama Islam maka dengan alasan tertentu untuk menghindari hewan piaraan dan makanan yang diharamkan Oleh Islam maka mereka kemudian pindah dan membangun pemukiman baru kira-kira 1 Km dari kampung induk dan diberi nama Desa Elaar Let. Kampung ini sekarang baru pada generasi ke 5 dari mereka yang masuk Islam.
Namun ketika orang-orang Ohoilim masuk agama Islam dan Kristen, maka pada tahun 60-an batu-batu tembok tersebut diruntuhkan dan batu-batunya doambil untuk pembuatan Gereja dan Rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar