Mudzakarah Trah Darah Pati Unus ing Sabrang Lor [Mijil ing Japara,1480-Syahid ing Selangor Malaysia,1521], Trah Darah Panembahan Wongsopati ing Klero [Sedha ing Klero,1680], Trah Brayat Ageng Kyai Karto Dreyan ing Kentheng [Sedha ing Kentheng,1943] dumugi Trah Kanjeng Raden Tumenggung Hasan Midaryo ing Kalasan [Mijil ing Prambanan,1921-Sedha ing Kalasan,30 Maret 2004]
Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi (Lahir di Serang, Purwodadi, Jawa Tengah, 1752 - Wafat di Yogyakarta, 1828) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah anak Pangeran Ronggo Natapraja [Panembahan Ageng Serang] yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya.
Nyi Ageng Serang adalah salah satu keturunan Kanjeng Sunan Kalijaga, dari trah Panembahan Hadi yang berkedudukan di Kadilangu Demak. ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ia dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo. Ia pahlawan nasional yang hampir terlupakan, mungkin karena namanya tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien tapi beliau sangat berjasa bagi negeri ini.
Warga Kulon Progo mengabadikan monumen beliau di proliman jalan raya Wates-Jogja berupa patung beliau yang sedang menaiki kuda dengan gagah berani serta membawa tombak.
Nyi Ageng Serang (1752-1828) bersama ayah (Panembahan Serang) dan kakaknya (Kyai Ageng Serang) termasuk pemberontak-pemberontak yang merobek-robek Perjanjian Gianti (13-02-1755) dan meneruskan perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Belanda menyergap pasukannya di Semarang. Ayah dan saudaranya gugur dalam pertempuran.
Ketika pecah perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang kehilangan suaminya yang tewas dalam pertempuran. Nyi Ageng Serang kemudian meneruskan perjuangan, dan meskipun sudah lanjut usianya, ketika itu berumur 73 tahun, mendapat kepercayaan memimpin pasukan. Pasukannya membawa Panji "Gula Kelapa" (warna Merah Putih) di daerah Jawa Tengah bagian timur-laut.
Nyi Ageng Serang dalam pertempuran itu memprakarsai penggunaan daun Talas sebagai taktik penyamaran. Dua tahun sebelum Perang Diponegoro berakhir Nyi Ageng Serang wafat karena jatuh sakit, kemungkinan serangan wabah penyakit malaria sebagaimana penyakit yang banyak merenggut nyawa para prajuritnya, juga para prajurit opas Belanda di sepanjang pegunungan Menoreh.
Selanjutnya, perjuangan Nyi Ageng Serang dipimpin oleh cucunya yang bernama Raden Mas Papak yang bergabung dengan laskar Menoreh yang dipimpin oleh Raden Mas Singlon, salah satu putra Pangeran Diponegoro yang bergelar Pangeran Menoreh.
Nyi Ageng Serang, Pangeran Adi Suryo dan Pangeran Somo Negoro memimpin perlawanan di darah pegunungan Menoreh, Kadipaten Adi Karto serta daerah Kadipaten Kulon Progo. Pangeran Joyo Kusumo memimpin perlawanan di daerah Kokap pegunungan Menoreh bersama Raden Mas Leksono Dewo (Ki Sodewo) di daerah mata air Sendang Clereng dan sekitar wilayah Serang Pengasih yang merupakan wilayah Kadipaten Adi Karto.
Sementara setelah terjadi geger di Gua Selarong, Pangeran Diponegoro dan Tumenggung Danu Kusumo serta para Kenthol Bagelen selanjutnya bergerak ke arah barat dan memimpin perlawanan di daerah Bagelen dan Alas Abang Somongari, wilayah purworejo dan kutoarjo kini.
Pangeran Adi Winoto dan Tumenggung Mangundipuro memimpin perlawanan di daerah Kedu. Pangeran Sayid Abu Bakar dan Tumenggung Joyo Mustopo memimpin perlawanan di daerah Lowano. Pangeran Joyo Kusumo memimpin perlawanan di daerah Ngayogyakarto bagian utara. Pangeran Suryo Negoro, Tumenggung Somodiningrat dan Tumenggung Suro Negoro memimpin perlawanan di daerah kuta negara Mataram dan wilayah timur Kraton Ngayogyakarto.
Pangeran Singosari dan Tumenggung Warso Kusumo memimpin perlawanan di daerah Gunung Kidul hingga daerah Wonogiri. Tumenggung Karto Pengalasan bersama Raden Mas Wirono Rejo dengan Laskar Prambanan memimpin perlawanan di daerah Plered. Dan Tumenggung Mertoloyo memimpin perlawanan di daerah Pajang, serta Tumenggung Kartodirjo memimpin perlawanan di daerah Sukowati hingga daerah Sragen dan Sukoharjo kini.
Jejak Nyi Ageng Serang
Jalur itu tidak saja menawarkan pemandangan asri lahan pertanian dengan latar Perbukitan Menoreh, tetapi juga menawarkan kekayaan wisata budaya dan sejarah, mulai dari candi-candi, Bendungan Karang Talun, hingga makam Pahlawan Nasional Nyi Ageng Serang.
Dari arah Kota Magelang, Jawa Tengah, jalan samping ini diawali dari ibu kota Kabupaten Magelang, Mungkid, yang terletak sekitar 10 kilometer (km) ke arah selatan melalui jalan menuju kompleks wisata Candi Borobudur. Selepas kompleks kantor Bupati Magelang di Mungkid, akan ditemukan pertigaan besar. Jika membelok ke kanan akan menuju Candi Borobudur. Adapun jalur lurus akan menuju Candi Mendut.
Sekitar 900 meter dari pertigaan tersebut akan ditemukan Jembatan Kali Elo dengan pertigaan lain di ujungnya. Jalur utama ke kiri akan membawa pada Candi Mendut, sementara jalur ke kanan akan masuk ke jalur alternatif Kalibawang-Godean. Tepat di perbatasan provinsi ini, terdapat pintu air Karang Talun, yang juga dikenal dengan sebutan Ancol. Selain karena pemandangan unik, pintu air ini sarat dengan kisah sejarah Yogyakarta.
Pintu air, yang mampu mengairi 3.000 hektar lahan sawah itu, pertama kali dibangun pemerintah kolonial Belanda tahun 1909, kemudian dipugar Pemerintah RI pada tahun 1980.
Pintu air Karangtalun merupakan hulu Selokan Mataram yang sangat dikenal warga Yogyakarta. Selokan, yang menghubungkan Sungai Progo dan Opak itu, dinormalisasi oleh Sultan Hamengku Buwono IX pada masa penjajahan Jepang dengan metode padat karya sebagai strategi melindungi rakyat Yogyakarta dari pengiriman kerja paksa ke luar Jawa.
Di sebuah perbukitan tak jauh dari bendungan, tersembunyi kisah kepahlawanan lain, yaitu makam perempuan pahlawan nasional Nyi Ageng Serang. Makam salah satu panglima perang kepercayaan Pangeran Diponegoro itu terletak di Dusun Beku, Pagerarjo, Kalibawang, Kulon Progo. Jalan Dekso-Muntilan berakhir pada perempatan Dekso, sekitar 30 km barat Kota Yogyakarta. Untuk mencapai Kota Yogyakarta, ambil jalan ke kiri menuju jalan lingkar barat.
Nyi Ageng Serang putri Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya.
Meski merupakan putra bangsawan, namun sejak kecil Nyi Ageng Serang dikenal dekat dengan rakyat. Setelah dewasa dia juga tampil sebagai salah satu panglima perang melawan penjajah. Semangatnya untuk bangkit selain untuk membela rakyat, juga dipicu kematian kakaknya saat membela Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwana I yang dibantu Belanda.
Setelah Perjanjian Giyanti, Nyi Ageng Serang pindah ke Jogja bersama Pangeran Mangkubumi. Namun perjuangan melawan pasukan penjajah terus dia lanjutkan. Saat itu Nyi Ageng Serang memimpin pasukan yang bernama Pasukan Siluman dengan keahlian Serang yang cepat hingga membuat pasukan musuh kerap kocar-kacir. Pasukan ini juga menjadi salah satu pasukan yang sangat diperhitungan Belanda waktu itu.
Ketika Perang Diponegoro berkobar pada 1825, Nyi Ageng Serang juga menjadi salah satu panglima perangnya. Pasukannya semakin besar karena dibantu oleh kalangan bawah, khususnya petani yang banyak bergabung dengan pasukannya. Nyi Ageng Serang juga dikenal sebagai ahli siasat dan negosiasi.
Nyi Ageng Serang meninggal karena usia yang sudah lanjut dan dimakamkan di Dusun Beku, Pager harjo, Kalibawang, Kulon Progo. Makam ini terletak di atas bukit di desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, kurang lebih 6 kilometer dari jalan Dekso Muntilan. Jarak dari Yogyakarta kurang lebih 32 kilometer, dari kota Wates kurang lebih 30 kilometer.
Makam ini dipugar pada tahun 1983 dengan bangunan berbentuk joglo dan telah dimakamkan disini Nyi Ageng Serang beserta abdi dalemnya. Garwo ibu dan wayah dalem yang telah dimakmkan didesa Nglorong, kabupaten Sragen pada waktu pemugaran makam dipindahkan ke makam iniMakam ini terletak di atas bukit kurang lebih 6 km dari jalan Dekso-Muntilan. Jarak dari Yogyakarta ± 32 km, dari kota Wates ± 30 km.
Makam ini dipugar pada 1983 dengan bangunan berbentuk joglo. Pada saat dipugar, makam suami, ibu, cucu dan yang telah dimakamkan di desa Nglorong, Kabupaten Sragen di pindahkan di tempat ini.
Nyi Ageng Serang memang telah lama wafat, namun semangatnya masih dapat terlihat pada bagaimana semangat serta prestasi para pewaris semangat cita-cita perjuangan Nyi Ageng Serang di Kota Wates, Kulon Progo. [Kawan Indonesia]
Petilasan Nyi Ageng Serang
Sendang Suruh Giri Tengah Magelang
Pada masa perang, Pangeran Diponegoro bergerilya dan singgah di Kalitengah selama 7 bulan di rumah Nyi Ageng Serang. Pangeran Diponegoro adalah seorang yang taat beragama. Saat beliau mencari sumber air untuk bersuci, akhirnya menemukan Sendang Suruh dan beliau beribadah disitu. Dahulu ada sebuah surau didekat sendan tersebut.
Hingga saat ini sendang tersebut masih ada, airnya tak pernah habis meskipun musim kemarau. Di dekat sendang terdapat peninggalan berupa batu yang konon ada cap kakinya. Kini batu tersebut sudah dibalik dan dikelilingi oleh tembok setinggi 1 meter. Di sekeliling sendang terdapat hutan kecil bernama Hutan Suruh. Banyak tumbuh pepohonan rindang, serta beberapa pohon yang sudah sangat tua berumur ratusan tahun seperti pohon Kecik, Wadang, dan Bendo, terletak di sebelah sendang.
Pos Mati merupakan nama sebuah puncak bukit yang terletak di sisi barat laut Desa Giritengah, berbatasan dengan Desa Ngadiharjo. Menurut sejarah, pada jaman perang digunakan oleh Pangeran Dipinegoro sebagai tempat pengintaian musuh serta tempat penyimpanan benda-benda pusaka seperti pedang, keris, tombak, dll. Di atas puncaknya terdapat 2 pohon pinus yang hidup sampai sekarang. Dari tempat ini kita bisa melihat sunrisedi atas Candi Borobudur dan Gunung Merbabu.
Bukit Limasan
Bukit Limasan merupakan bagian dari perbukitan Menoreh yang menonjol keluar. Bukit ini juga erat kaitannya dengan sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro. Di salah satu bagian bukit Limasan terdapat sebuah batu yang dipercaya sebagai batu keramat. Batu tersebut bentuknya menyerupai babi/celeng sehingga disebut Watu Celeng.
Bale Kambang/Bale Gedhe
Bale Kambang adalah sebuah bangunan kecil yang dulu digunakan sebagai pos istirahat oleh Nyi Ageng Serang pada zaman Perang Diponegoro. Dulunya bangunan ini berupa pondok bambu, kemudian dibuat permanen pada masa kepemimpinan Bapak Lurah Sochib. Bale Kambang sampai saat ini masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar.
Wasiat Nyi Ageng Serang :
" Untuk keamanan dan kesentausaan jiwa,
kita harus mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan,
Tidak akan terperosok hidupnya,
Dan tidak akan takut menghadapi cobaan hidup,
Karena Tuhan akan selalu menuntun
Dan melimpahkan anugrahNya
yang tiada ternilai harganya"
Rumongso melu handerbeni (merasa ikut memiliki), Wajib melu hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan), dan Mulat Sario hangroso wani (mawas diri dan berani bertanggung jawab). Wasiat tersebut disampaikan Nyi Ageng Serang pada saat beliau mendengarkan keluhan keprihatinan para pengikutnya dan rakyat, akibat perlakuan kejam kaum penjajah, yakni Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar